Minggu, 28 Februari 2010

Telaga Sarangan


Hari libur datang juga, aku dan keluargaku merencanakan untuk berwisata ke telaga Sarangan yang terletak di kaki gunung Lawu, di kec. Plaosan, Kab. Magetan, berjarak sekitar 16 kilometer arah barat kota Magetan. Aku berangkat dari Surabaya sekitar jam 7an, sayang ga’ semua anggota keluargaku ikut. Kedua adekku yang kembar lagi sibuk sama lomba Dai di sekolahnya jadi partisipan pada acara kali ini hanya ber 4 aja, aku, mama, papa dan adekku yang paling kecil.

Setelah menempuh perjalanan ± 5 jam kami sampai juga di telaga Sarangan. Telaga Sarangan atau disebut juga telaga pasir memiliki luas sekitar 30 hektar dan berkedalaman 28 meter, dengan suhu udara antara 18 hingga 25 derajat Celsius. Kedatanganku di telaga Sarangan disambut dengan hujan lebat, wuih dingin bangedh rasanya. Berhubung belum makan dan tuntutan perut yang keroncongan kami langsung menuju warung lesehan di pinggir telaga Sarangan untuk menikmati hidangan khas telaga Sarangan yaitu Sate Kelinci. Untuk satu porsi sate kelinci isi 10 tusuk + lontong dihargai Rp. 7000,-. Tidak puas hanya dengan sate kelinci aku juga memesan wedang ronde sebagai penghangat sambil menunggu sate kelincinya di bakar. Di telaga Sarangan ini ada banyak makanan yang bisa dicicipi mulai dari sate kelinci, wedang ronde, bakso, jagung rebus, jagung bakar, kacang rebus, kikil sapi, bahkan ada juga yang jualan burger, belum lagi banyhak warung nasi bertebaran dimana-mana. Pokoke masalah konsumsi pasti teratasi.
Setelah hujan reda dan perut kenyang kami sekeluarga langsung menuju hotel untuk beristirahat. Sore harinya aku memilih untuk berjalan-jalan disekitar telaga Sarangan. Di sini terdapat banyak sekali cinderamata dan oleh-oleh khas dari telaga Sarangan. Ada tas, kaos dan juga kerajinan tangan lain hasil karya masayarakat sekitar. Ada juga bunga, buah-buahan seperti alpukat, jeruk dan bahkan sayur-sayuran hasil dari perkebunan setempat.

Selain berbelanja ria aku juga sempat menyewa speed boat untuk mengelilingi telaga Sarangan, cukup dengan Rp.40.000,- kita bisa menikmati indahnya telaga Sarangan. Bila tidak suka mengelilingi telaga Sarangan dengan speed boat bisa juga dengan menggunakan perahu angsa, asik neh buat yang lagi pacaran, biar tambah mesra he5x, atau naik kuda keliling telaga Sarangan.


Malampun telah tiba. Saatnya untuk istirahat dan mempersiapkan fisik buat besok, rencananya mau jalan-jalan ke air terjun Tirtosari …

Selasa, 23 Februari 2010

Cocofrio Ice Cream


Siang-siang di Surabaya paling pas minum yang dingin, biar hati ikut sejuk he5x. Kebetulan lagi lewat daerah Kertajaya jadi mampir deh ke Cocofrio. Cocofrio Ice Cream ini terletak di Jl. Dharmawangsa 113A.

Ruangan di Cocofrio cukup luas di tambah lagi ada fasilitas WLAN yang memanjakan pengunjungnya. Sayangnya aku datang cuma berdua aja sama temenku jadi kurang rame, kalo semakin banyak semakin asik dah. Harga di Cocofrio cukup terjangkau, bisa dijadikan salah satu tempat buadh ngumpul bareng temen-temen apalagi pas malam hari pasti lebih asik.

Tahu Tek-Tek pak H.Ali


Surabaya 21 Februari 2010. Malem-malem habis ujan deres paling enak buadh cari makanan sambil cangkru’an. Setelah berpikir sejenak akhirnya aku menentukan pilihan untuk mencoba tahu tek-tek pak Ali yang terletak di jalan Dinoyo 147 A, deketnya toko roti Suzana.

Setelah menjemput salah seorang temen deketku, kami segera meluncur ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Sesampainya disana kami langsung memesan 2 porsi tahu tek-tek plus telur dan juga teh panas. Udara dingin semakin menambah lapar perutku ini, rasanya pingin cepet-cepet di isi untung aja ada cewek cakep yang ikut beli jadinya bisa buadh cuci mata walaupun terakhir-terakhirnya harus miris soalnya ada ”asu” nya he5x

Pesanan kamipun datang, tahu tek-tek ini merupakan salah satu masakan khas Surabaya, terdiri dari irisan lontong, tahu, kentang yang diberi bumbu kacang campur petis dan ditaburi kecambah dan kerupuk diatasnya. Bisa juga minta ditambahi  telur dadar biar tambah mantap jaya. Nama tahu tek-tek berasal dari bunyi gunting (tek-tek) yang digunakan untuk memotong lontong, tahu dan kentang. Gunting yang digunakan juga bukan sembarang gunting harus gunting yang besar kaya’ gunting jamannya mbah kakung itu lho ....

Yang membuadh beda tahu tek-tek pak H. Ali adalah bumbunya yang lebih meresap dan terasa dari pada tahu tek-tek lainnya terutama pada petisnya. Kata pak H.Ali petis yang dibeli dari pasar diolah lagi agar semakin baik kualitasnya karena petis adalah nyawa utama dari tahu tek-tek. Porsi tahu tek-tek pak H. Ali ini terhitung porsi besar, 2x lipat dari porsi tahu tek-tek yang bisa dijual di gerobak dorongan yang biasa lewat di depan rumah.

Sekedar informasi tahun tek-tek pak H. Ali ini sudah berdiri sejak tahun 1960an, dan hanya ada di jalan Dinoyo 147 A , tidak membuka cabang. Harga 1 porsinya adalah Rp. 8000,- dan bila kita minta tambah telur harganya Rp. 9000,-.

Tak terasa malam semakin larut, makan sambil ngobrol bener-bener menyita waktu untug aja ga’ sampai di usir sama pak H. Ali, malah beliau ini orangnya ramah dan suka bercanda Ga’ salah kalau warungnya pak H.Ali ini selalu rame dan juga menjadi salah satu tempat makan favorit artis-artis ibu kota. Pokoknya maju terus tahu tek-tek pak H. Ali

MANTAP JAYA.


Selasa, 16 Februari 2010

Permandian Air Panas Cangar


Minggu pagi 14 Februari 2010, ketika semua orang sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari Valentine dan tahun baru cina (Imlek) aku mempersiapkan diri untuk berwisata alam dengan sahabat-sahabatku. Kali ini tujuan perjalananku dan teman-temanku adalah permandian air panas Cangar yang terletak di desa Tulungrejo, kec. Bumiaji, Kota Batu.

Jarum jam menunjukkan pukul 06:30 waktunya untuk berangkat. Setelah menjemput salah satu teman aku melanjutkan perjalanan ke Sidoarjo, rute yang aku ambil adalah Surabaya-Sidoarjo-Krian-Mojosari-Pacet-Cangar. Rute ini jauh lebih dekat dari pada harus melewati Batu .

Perjalanan cukup menyenangkan, udara yang sejuk khas pegunungan ditambah dengan hijaunya alam membuat aku semakin bersemangat untuk segera sampai ke Cangar. Perjalanan mulai terasa berat ketika melalui Pacet menuju ke Cangar. Rute ini sangat ekstrim lebih menantang dari pada rute ke pantai Sundak, Yogyakarata beberapa waktu yang lalu. Rute ini penuh dengan tanjakan lurus, hal ini membuat motor kesayanganku sampai harus berhenti ditengah jalan karena sudah mulai panas.

Kira-kira 2 jam perjalanan kami akhirnya sampai ke permandian air panas Cangar, tiket masuknya untuk 2 orang Rp. 7000,- udara yang sejuk membuat aku lupa akan rasa capekku selama perjalanan. Kami langsung saja menjelajahi permandian air panas ini, di sini terdapat kolam renang air hangat, sayangnya temanku ga’ bawa baju ganti sehingga aku mengurungkan niat untuk berenang ria. Aku melanjutkan penjelajahan kami dengan memasuki gua Jepang yang terletak tak jauh  dari lokasi permandian air panas. Goa Jepang disini hanyalah berupa lubang di dinding tebing sedalam kira2 20 meter. Jadi sama sekali ga’ menarik. Apalagi lantainya penuh batu-batu besar yang bikin susah lewat, dan ga’ ada cahaya sama sekali. Jadi kalau mau masuk kesana, sebaiknya bawa senter atau penerangan lainnya. Cahaya dari luar paling hanya mampu menerangi sampai 3 meter dari pintu Goa.   


Setelah puas berjalan-jalan aku dan teman-temanku bermain air di sungai kecil samping kolam renang. Walaupun ga’ sempet renang tapi tetep bisa ngerasain hangatnya air pemandian yang berasal dari mata air gunung Arjuno. Setelah puas aku dan teman-temanku mencicipi jajanan disana yaitu tape ketan hitam dan badrek. Badrek adalah air ketan hitam 1 liternya dijual seharga Rp. 5000,- tapi bisa dapet lebih murah kalo bisa nawar he5x

Sekitar 13.00 aku dan teman-temanku pulang tak lupa berfoto ria di jembatan dekat Cangar. Perjalanan belum berakhir, aku dan teman-temanku berhunting duren-ria di Sidoarjo, selain makan di tempat tak lupa juga kita membeli beberapa buah untuk keluarga tercinta,. Setelah melewati hadangan hujan lebat sepanjang Sidoarjo-Surabaya akhirnya sampai dirumah juga. Capek sih tapi tetap semangat langsung mendukung PERSEBAYA vs PERSIB, puji Tuhan persebaya menang 2-1, tidur nyenyak dan mimpi indah … 

Rabu Abu

Empat puluh hari sebelum Paskah, Gereja Katolik merayakan Rabu Abu. Pada hari ini orang Katolik punya tradisi menaruh abu di kepala. Umumnya, abu tersebut dioleskan di dahi. Akan tetapi, bisa juga ditaruh di ubun-ubun. Hari Rabu Abu ini juga menjadi hari pertama masa Prapaska, masa pertobatan, pantang, puasa, doa, dan amal-kasih bagi orang Katolik.

Pengolesan abu yang sudah dicampur air suci pada hari Rabu Abu ini merupakan salah satu sakramentali dalam Gereja. Sebagai sakramentali, ia boleh dilakukan kepada setiap orang. Jadi, orang non-katolik juga boleh maju untuk menerima abu sebagai lambang pertobatan.

Abu dalam Kitab Suci

Abu dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, merupakan tanda umum ungkapan pertobatan. Sifat-sifat abu itu:

1. kotor

2. mudah dipindah, dan

3. tidak berguna.

Debu dan abu merupakan hal yang dibenci orang yang bersih. Mereka mudah menempel di mana-mana, mengotori dan menghilangkan keindahan. Namun, debu dan abu itu mudah pula dibersihkan. Kumpulan debu dan abu mudah sekali buyar dan tercerai-berai dihembus angin. Selain itu, segala sesuatu kalau dibakar akan menjadi abu. Kalau sudah menjadi abu, segalanya tidak ada gunanya lagi.

Dalam Kitab Kejadian, dikatakan manusia diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7). Itu sebelum Roh Allah dihembuskan ke dalam manusia. Tanpa Roh Allah, manusia hanyalah debu. Artinya, tanpa Allah manusia itu tidak ada gunanya dan mudah diombang-ambingkan. Bahkan lebih daripada itu, tanpa Allah manusia hanyalah kotoran. Tanpa Allah manusia hanya bisa melakukan dosa.

Kalau para nabi Perjanjian Lama menyinggung soal abu, mereka ingin mengingatkan Umat Allah siapa sebenarnya manusia itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu!", (Yer 6:26) ia ingin mengingatkan bangsanya bahwa untuk bertobat, merendahkan diri di hadapan Tuhan. Dengan berdosa manusia telah menjadi begitu sombong. Lupa bersyukur kepada Allah dan melakukan kehendak-Nya.

Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai salah satu tanda pertobatan, raja Niniwe mewakili rakyatnya duduk di abu (Yun 3:6). Dengan demikian, ia mengakui kerendahannya dan mohon kemurahan hati Allah lagi bagi kotanya. Daniel di tengah penderitaannya juga memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Demikian pula, sebelum berangkat berperang, orang-orang Makabe memohon berkat Tuhan, memasrahkan diri mereka serta menyatakan iman mereka kepadanya dengan menaburkan abu di atas kepala mereka (1Mak 3:47).

Ayub juga dikatakan duduk di abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Tindakannya ini merupakan tanda bahwa ia tetap percaya kepada Tuhan. Segala sesuatu bagi Ayub adalah pemberian Tuhan. "TUHAN yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayb 1:21)

Abu ialah lambang pertobatan. Namun, Yesaya mengingatkan bahwa lambang saja tidaklah cukup. Yang paling penting ialah yang ditandakan, bukan tandanya. Pertobatan yang sungguh-sungguh akan tampak dalam kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Yes 58:5-7).

Abu sebagai tanda pertobatan dinyatakan jelas sekali oleh Yesus dalam Mat 11:21 dan Luk 10:13: "Celakalah engkau, Khorazim! Celakalah engkau, Bethsaida! Sebab jika di Tirus dan Sidon mukjizat-mukjizat besar terjadi seperti di tengah-tengahmu, mereka sudah lama bertobat dalam kain kabung dan abu" (Terjemahan LAI menghilangkan kata "abu" yang seharusnya ada).

Sejarah Penggunaan Abu dalam Gereja

Meskipun referensi dalam Kitab Suci untuknya cukup banyak, penggunaan abu pada awal-awal sejarah Gereja tidak banyak tercatat. Kemungkinan kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para pentobat yang mau mengaku dosa. Baru pada awal abad ke-11, ada catatan yang menggambarkan pengolesan abu pada hari Rabu sebelum memasuki Masa Prapaskah. Akhirnya, pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan bau secara umum pada hari tersebut. Hari tersebut dikenal sebagai dies cinerum (hari abu) dan akhirnya dikenal dengan hari Rabu Abu.

Menarik bahwa awalnya, para klerus dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu, kaum wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Sekarang, seperti yang kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.

Baru pada abad ke-12 aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma dari Minggu Palma tahun sebelumnya. Di beberapa paroki masih ada kebiasaan untuk mengumpulkan daun-daun tersebut dari semua umat untuk dibakar dalam upacara bersama sebelum masa Prapaskah dimulai.

dikutip dari : artikel Rm. Georgius Paulus